• Home
  • About
  • Contact
  • Privacy Policy
twitter instagram

MELALUI RUANG

menulis, membaca, menonton

Siapa yang selingkuh?
Kenapa Este menghilang?
Ada yang mati atau tidak?
Siapa yang menjadi pelaku kejahatan?
Siapa yang lagi ngomong dalam lirik?

Begitu dengar sepintas lagu no body no crime yang dinyanyikan oleh Taylor Swift, saya langsung tertarik sama liriknya. Bisa dikatakan no body no crime ini adalah cerita pendek. Hal yang paling bikin saya tertarik adalah point of view dan kata ganti yang digunakan. Dalam lirik lagu no body no crime ada beberapa point of view.

Pada bagian pertama, teman Este menceritakan kejadian dari sudut pandang Este. Este cerita kalau suaminya bertingkah aneh. Dia menduga bahwa suaminya selingkuh. Tapi, dia tidak bisa membuktikannya. Sampai akhir pada chorus pertama, sudut pandangnya masih Este.

He did it
He did it

Este's a friend of mine
We meet up every Tuesday night for dinner and a glass of wine
Este's been losing sleep
Her husband's acting different and it smells like infidelity
She says, "That ain't my merlot on his mouth"
"That ain't my jewelry on our joint account"
No, there ain't no doubt
I think I'm gonna call him out
She says

"I think he did it but I just can't prove it"
I think he did it but I just can't prove it
I think he did it but I just can't prove it
No, no body, no crime
But I ain't letting up until the day I die
No, no
I think he did it
No, no
He did it


Bagian kedua yang cerita masih teman Este, tapi sekarang dari sudut pandangnya sendiri. Dia mengamati kejadian yang ada di sekitarnya. Este tiba-tiba menghilang dan suaminya melaporkan hal tersebut. Namun, menurut teman Este, ada yang mencurigakan. Suami Este baru saja mengganti ban pada truknya dan simpanannya tiba-tiba pindah ke rumahnya. Teman Este berkesimpulan bahwa harus ada yang menangkap suami Este, karena suami Este pasti ada hubungannya dengan menghilangnya Este. Sayangnya, teman Este ini tidak punya bukti.

Este wasn't there
Tuesday night at Olive Garden, at her job, or anywhere
He reports his missing wife
And I noticed when I passed his house his truck has got some brand new tires
And his mistress moved in
Sleeps in Este's bed and everything
No, there ain't no doubt
Somebody's gotta catch him out
'Cause

I think he did it but I just can't prove it (he did it)
I think he did it but I just can't prove it (he did it)
I think he did it but I just can't prove it
No, no body, no crime
But I ain't letting up until the day I die
No, no
I think he did it
No, no
He did it

Pada bagian ketiga ini kira-kira siapa yang ngomong? Kejadiannya masih berhubungan sama kejadian sebelumnya atau kejadian beda lagi? Nah, di bagian ketiga ini bisa disimpulkan bahwa ada yang mati (lagi), walaupun tidak disebut secara gamblang. Si “aku” mengaku bahwa dia bisa mengendarai perahu dan sudah membersihkan rumah dengan tujuan untuk menutupi tempat kejadian. Bisa disimpulkan, bahwa jasad seseorang dibuang di daerah perairan, setelah “aku” membunuhnya. “Aku” membunuh seseorang di rumah. Namun tidak diketahui di rumah siapa, siapa yang dibunuh dan “aku” ini siapa; walaupun pada bagian pertama dan kedua lirik ada kecurigaan terhadap suami Este. Belum tentu bagian ketiga menceritakan kronologi pembunuhan Este. Wait, memang Este dibunuh? Will see.

Menurut saya, kata kuncinya ada di kalimat “Good thing his mistress took out a big life insurance policy.” Nah, berarti simpanan suami Este ini dapat asuransi jiwa atas meninggalnya seseorang. Jadi kesimpulannya yang dibunuh adalah suami Este, yang membunuh adalah teman Este, dan tempat kejadiannya kemungkinan di rumah suami Este. Tapi, teman Este memiliki alibi, karena adik Este bersaksi bahwa teman Este bersama dirinya.

Good thing my daddy made me get a boating license when I was fifteen
And I've cleaned enough houses to know how to cover up a scene
Good thing Este's sister's gonna swear she was with me ("She was with me dude")
Good thing his mistress took out a big life insurance policy


Nah, pada chorus terakhir ini agak membingungkan, tapi saya akan mencoba memahaminya (semoga tidak keliru). Yang berbicara di sini adalah teman Este. Pada kalimat “They think she did it but they just can’t prove it”, “she” merujuk kepada seseorang yang diduga melakukan tindak kejahatan. Siapa “she” dan “they” yang dimaksud? Menurut saya, “they” adalah orang-orang pada umumnya. Mereka mencurigai bahwa kematian suami Este adalah ulah si simpanan, karena dengan begitu si simpanan dapat asuransi jiwa. Sementara itu, si simpanan menduga bahwa yang membunuh suami Este adalah teman Este. Sayangnya lagi-lagi no body no crime. Tidak ada yang jadi tersangka (soalnya tidak ada bukti), ya berarti kejahatan itu tidak ada.

They think she did it but they just can't prove it
They think she did it but they just can't prove it
She thinks I did it but she just can't prove it
No, no body, no crime
I wasn't letting up until the day he
No, no body, no crime
I wasn't letting up until the day he
No, no body, no crime
I wasn't letting up until the day he died


Kesimpulannya yang mati di sini ada dua orang, Este dan suaminya. Este dibunuh oleh suaminya, mungkin ditabrak pakai truk. Lalu, suami Este dibunuh oleh teman Este. Teman Este dendam, karena suami Este selingkuh dan membunuh Este, tapi tidak tersentuh hukum. Akhirnya teman Este bertindak sendiri. Dan, teman Este ini juga tidak tersentuh hukum, karena tidak ada bukti. Orang-orang malah menuduh simpanan suami Este, tapi tidak bisa membuktikan kejahatan itu.

Asli keren, lirik no body no crime ini ditulis dengan permainan point of view yang harus dicerna lebih teliti biar paham. Dan, di bahasa Inggris kata ganti “dia” itu ada bedanya (he/she), jadi enak kalau mau ‘memainkan’ point of view. Sementara itu, di bahasa Indonesia pakai kata ganti “dia” baik cewek ataupun cowok. Coba deh no body no crime diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan coba pahami tanpa baca teks aslinya. Pasti tambah bikin tersesat, soalnya pakai “dia” semua.

Gimana pendapat kalian tentang lirik no body no crime? Tulis pendapat kalian di kolom komentar ya.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebenarnya cerpen Padang Rumput Afrika (The Veldt) karya Ray Bradbury ini sudah saya baca sejak lama, tapi karena baru-baru ini saya mengikuti workshop dan mendapat sedikit ilmu menganalisis cerpen, jadi saya berniat membaca ulang Padang Rumput Afrika. Dan, ternyata pandangan saya kini berbeda dengan kala saya membacanya untuk pertama kalinya. Well, ini bukan analisis banget sih, ya kan saya bukan ahli. Ini bisa dibilang cuma pandangan saya terhadap cerpen Padang Rumput Afrika. Oya, kalian bisa membaca cerpen tersebut di Fiksi Lotus.

Cerpen Padang Rumput Afrika diawali dengan dialog antara Ibu dan Ayah. Hanya dengan beberapa dialog karakter Ibu dan Ayah langsung ditampilkan. Pertama Ibu menyuruh Ayah untuk memeriksa kamar bermain anak-anak, tapi kemudian ia mengatakan “Atau panggil seorang psikolog untuk melihatnya.” Pembuka cerpen langsung menunjukkan masalah utamanya: Ada yang tidak beres dengan kamar bermain anak-anak. Namun, apa itu? Permasalahan itu akan dibongkar sedikit demi sedikit. Selain itu gaya hidup mereka juga langsung ditampilkan di pembuka. Hal itu ditunjukkan dengan posisi Ibu yang sedang menunggu kompor meracik makanan secara otomatis.

Kemudian cerita mengalir ke adegan saat mereka memeriksa kamar bermain anak. Sebelum itu, ada simbol yang diletakkan di kalimat deskripsi: Mereka melintasi lorong di dalam rumah mereka yang dindingnya terbungkus oleh lapisan kedap suara Happylife Home. Kalimat tersebut bisa jadi merupakan sindiran, rumah (keluarga) yang dipenuhi dengan kegembiraan, tapi kedap suara, seakan kegembiraan itu tidak terdengar/senyap. Setelah itu dijelaskan lagi bagaimana rumah itu berfungsi: Rumah itu adalah tempat mereka membesarkan, memberi makan anak-anak mereka... Rumah itu adalah rumah yang layak bagi pertumbuhan anak-anak. Rumah pada deskripsi tersebut lebih menggambarkan tempat dan ini bisa jadi adalah petunjuk lain bagaimana keluarga ini hidup. Rumah semestinya lebih dari tempat.

Di rumah itu Ibu dan Ayah membangun kamar bermain yang begitu luas untuk anak-anak mereka. Ruangan itu memiliki teknologi canggih yang bisa meniru keadaaan asli suatu tempat, dalam hal ini area itu sedang menampilkan Padang Rumput Afrika. Setelah George dan Lydia memasuki Padang Rumput Afrika, ada paragraf deskripsi tentang bagaimana area tiruan itu terlihat nyata dan apa saja yang ada di dalamnya. Kehidupan di padang rumput Afrika begitu liar. Ada sekawanan singa yang baru saja selesai menyantap buruan mereka. George dan Lydia merasa tidak nyaman dengan citra yang ditampilkan di kamar bermain tersebut.

Ada dialog-dialog yang menurut saya ironis, misalnya “...kita berada di tengah hutan rimba Afrika yang terkurung dalam kamar anak-anak...” Buat saya pribadi, yang terkurung justru anak-anak. Bahkan untuk berimajinasi mereka dibantu oleh alat canggih itu. Seolah-olah memang tidak terbatas sih, apa pun yang anak-anak imajinasikan akan direfleksikan melalui teknologi canggih itu. Namun, tidakkah itu justru membatasi. Kenyataannya mereka cuma terkurung di dalam kotak yang disebut kamar bermain. Dialog lainnya, “Mereka hidup untuk bermain di kamar itu.” Anak-anak telah terikat dengan kamar bermain. 

Pada akhirnya Lydia mengusulkan suaminya untuk mematikan semua perangkat dan pergi berlibur. Ia ingin memasak sendiri, mencuci sendiri. Teknologi canggih yang ada di rumah mereka sudah tidak lagi meringankan beban, tapi menambah beban lain. Pada titik ini Lydia menyadari ada yang tidak beres. 

“Rumah ini berperan sebagai ibu dan istri, sekaligus teman bermain anak-anak. Mana bisa aku bersaing dengan pesona padang rumput Afrika? Mana bisa aku menyaingi efisiensi dan kecepatan mesin pemandi? Aku tidak bisa.” (Lydia) 

Saking canggihnya rumah itu, mereka tidak tahu harus melakukan apa di dalam rumah, karena semua pekerjaan rumah sudah digantikan oleh mesin. Padahal mesin tidak serta merta bisa menggantikan peran manusia. Mesin itu tidak manusiawi, tidak memiliki ciri khas khusus yang cuma bisa ada di manusia, mesin sendiri adalah ciptaan manusia. Sementara itu yang terjadi di keluarga George dan Lydia, mesin telah mengambil alih hidup mereka. Bahkan hal yang paling dasar seperti mengikat tali sepatu, mandi, menggosok gigi, memasak tidak bisa mereka lakukan tanpa mesin. 

“Apapun yang baik akan jadi tidak baik bila dikonsumsi terlalu berlebihan.” George mulai menyadari kesalahannya yang terlalu menggantungkan diri kepada mesin. Ia tidak mungkin mengontrol imajinasi anak-anak. Apalagi kamar bermain itu akan menangkap apa pun imajinasi anak-anak. Ada narasi yang bunyinya: Begitu anak-anak membayangkan singa, maka singa dihadirkan dalam ruang itu. Zebra, maka zebra dihadirkan juga. Matahari, matahari. Jerapah, jerapah. Kematian dan kematian. Melalui narasi tersebut Ray Bradbury mau memberikan petunjuk penting. Ada lagi kalimat: Jauh sebelum kau mengenal kematian, kau sudah menyumpahkannya terhadap orang lain. 

Lantas George berniat mengunci kamar bermain. Lydia amat khawatir, bahkan beberapa kali ia mendengar teriakan di kejauhan yang asalnya dari kamar bermain itu. Saking muaknya, George ingin ruang bermain itu merespon pikirannya dan mengganti pemandangan padang rumput Afrika menjadi latar pada cerita Aladin, tapi tidak ada yang terjadi. Ia menyimpulkan kamar itu rusak. Tapi, Lydia memiliki pandangan lain. Kamar itu mungkin sudah tidak bisa merespon lagi lantaran anak-anak telah memikirkan Afrika, singa, dan perburuan selama berhari-hari. Sementara itu, ketika Wendy memeriksa ruang bermain itu yang tampil justru hutan belantara nan hijau dan sejuk, ada alunan lagu, kupu-kupu dan bunga. Adegan tersebut bisa multitafsir, misalnya ruang bermain itu bukannya tidak bisa merespon imajinasi George, dia sudah meresponnya. Atau, sesuai dengan kecurigaan George, Wendy (anak kedua, anak pertama bernama Peter) sengaja mengubahnya dan pura-pura tidak tahu tentang padang rumput Afrika. Well, orangtua di cerita ini cenderung mencurigai anak-anak mereka. 

“Kita sudah memberikan segalanya bagi anak-anak kita. Apa ini balasannya? Kerahasiaan dan ketidakpatuhan?” (Lydia). Di sini orangtua merasa sudah memahami dan memberikan segalanya kepada anak-anak mereka, tapi di sisi lain mereka justru tidak memercayai anak mereka sepenuhnya dan malah mencurigai mereka. Dan ingat, secara tidak langsung perilaku anak adalah cerminan orangtua mereka, bagaimana orangtua mendidik anak mereka. 

Lalu, cerita bergulir pada kedatangan seorang psikolog. Ia berpendapat, “Kamar bermain, rumah ini telah menggantikan peranmu dan istrimu dalam kehidupan anak-anak kalian. Mereka jauh lebih penting daripada orangtua sungguhan, dan sekarang kau tiba-tiba mau mematikan kamar ini. Tentu saja sekarang kita melihat kebencian dalam kamar ini sekarang.” 

Peter dan Wendy begitu marah, saat orangtua mereka tiba-tiba merampas kamar bermain yang selalu menemani hari-hari mereka. Selain itu mesin-mesin lain di dalam rumah juga akan dimatikan. Padahal Peter dan Wendy tidak pernah diajarkan bagaimana mengikat sepatu, gosok gigi, mandi. Mereka jelas ketakutan dan panik. 

“Sudah lama kita semua mati. Sekarang kita akan mulai hidup baru. Kita takkan lagi dibuai oleh mesin, kita akan hidup normal.” (George)

Apakah setelah semua mesin di dalam rumah itu dimatikan maka urusan beres? Tidak juga. Sejak awal Bradbury sudah menebar petunjuk bagaimana cerita akan berakhir. Ada jeritan, ada dua benda yang ditemukan berada di kamar bermain itu, dompet lama George dan syal Lydia. Pada akhirnya ketakutan George dan Lydia menjadi nyata. Bagian saat George dan Lydia dimakan singa bisa mengartikan bahwa bagi anak-anak sosok orangtua asli mereka sudah mati. Peran mereka telah digantikan oleh mesin-mesin.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua hari menjelang Patjar Merah berakhir, pengunjung festival literasi tersebut tidak surut, malah kian ramai. Bazar buku di lantai satu gedung Soesmans Kantoor selalu dipenuhi pengunjung dari berbagai usia, begitu juga dengan sesi obrolan, lokakarya, dan pertunjukan.

Pada Sabtu 07 Desember 2019 saya mengikuti sesi Berbicara Rasa: Berpuisi dan Bercerita untuk Memahami Diri. Sesi tersebut diisi oleh dua penulis wanita, yaitu Amanda Margareth dan Renita Nozaria. Sementara itu, hari Minggu saya mengikuti sesi Dapur Penerbit: Berburu Penulis dan Naskah Terbaik. Sesungguhnya saya ingin mengikuti sesi Literasi Bercerita: Memanjangkan Ingatan Melalui Dongeng, serta sesi Menulis Ekspresif dan Kesehatan Mental. Namun sangat disayangkan, karena lain hal saya tidak bisa mengikuti sesi tersebut. Padahal sudah excited sekali, tapi baru bisa hadir di sore hari.

Berbicara Rasa: Berpuisi dan Bercerita untuk Memahami Diri

Amanda dan Renita tidak pernah membayangkan akan menjadi penulis, bahkan lingkungan sekitar mereka bisa dibilang tidak terlalu mendukung. Keduanya kuliah di Universitas Diponegoro Semarang yang jurusannya tentu jauh dari dunia menulis. Renita awalnya menulis fanfiction di note Facebook. Awalnya dia tidak pernah menyangka akan ada yang membaca, ternyata dia mendapat apresiasi yang baik. Lalu dia berpindah ke Wattpad. Kebalikannya Amanda tidak berangkat dari menulis di writing platform. Dia menyimpan tulisan apa pun dalam bentuk draft.
Berbicara Rasa diisi oleh Amanda Margareth dan Renita Nozaria
Berbicara Rasa (dokumentasi pribadi, ©)

Menulis, Amanda jadikan sebagai coping mechanism dari berbagai perasaan yang dia alami, misalnya patah hati. Bahkan dia rutin membuat jurnal harian tentang peristiwa apa saja yang terjadi hari itu atau bahkan tentang orang lain.

Renita menulis cerita yang ingin dia baca. Cerita-cerita yang jarang dia temui di pasaran. Tulisan yang dia buat tidak berfokus pada cerita romance, romance baginya adalah bumbu. Dia lebih memandang cinta sebagai suatu yang universal, misalnya cinta kepada keluarga, cinta seorang guru kepada muridnya.

Kedua penulis tersebut sepakat bahwa menulis sesuai keinginan penulis dan pasaran harus seimbang, walaupun Amanda terkadang memiliki idealisme tersendiri terkait tulisannya. Menulis jangan semata-mata untuk mendapat perhatian orang. Tulisan yang bagus pasti akan ditemukan oleh pembaca. Jadi jika tulisan kalian mendapat sedikit pembaca bukan berarti jelek, hanya belum ditemukan. Ketika menulis mereka juga tidak pernah memaksakan diri. Andai harus berhenti sejenak, maka mereka berhenti. Bagi mereka menulis harus dari hati.

Ada beberapa pertanyaan peserta yang menarik perhatian saya. Apakah Amanda dan Renita pernah mengalami perasaan kerdil atau rendah diri dengan tulisan-tulisan penulis hebat lainnya? Jawaban mereka luar biasa. Keduanya tentu pernah mengalami perasaan tersebut, tapi tidak ingin terus membanding-bandingkan diri dengan penulis lain. Mereka percaya semua penulis berangkat dari titik nol. Di balik karya luar biasa penulis lain tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan mereka.

Apakah karya terbaik berasal dari penderitaan terhebat? Amanda dan Renita sepakat bahwa bisa jadi demikian atau bahkan tidak. Bisa jadi, karena menurut Amanda menulis bisa dijadikan sarana menumpahkan perasaan. Namun, bukan melulu karena luka, tapi juga soal kecintaan.

Bagaimana respon mereka andai ada orang yang mengutip karya mereka tanpa disertai sumber atau yang terparah melakukan plagiasi? Renita sudah memiliki fanbase di Wattpad, biasanya mereka yang akan memberitahunya dan menegur si pelaku. Sementara Amanda akan menegur orang yang bersangkutan, lalu me-report akun tsb, dan terakhir jika tidak bisa melakukan apa-apa ya dibiarkan saja. Keduanya juga mengatakan bahwa orang yang melakukan plagiasi tidak akan pernah ke mana-mana, karena yang asli tetap yang terbaik. Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Menurut saya orang yang melakukan plagiasi kreatifitasnya akan mati, tidak berkembang.

Dapur Penerbit: Berburu Penulis dan Naskah Terbaik

Sesi Dapur Penerbit diisi oleh penerbit Haru, Buku Mojok, Marjin Kiri, Banana, dan Narasi. Kelima penerbit tersebut memiliki segmen yang berbeda. Penerbit Haru khusus menerbitkan buku terjemahan dari penulis Asia. Buku Mojok menerbitkan buku yang lebih bervariasi baik non fiksi maupun fiksi, seperti sastra; kumpulan puisi; kumpulan cerita kemiliteran; sejarah; dll. Marjin Kiri lebih banyak menerbitkan buku non fiksi, tapi sudah mulai merambah fiksi. Banana awalnya lebih banyak menerbitkan buku terjemahan, tapi sekarang juga fokus ke fiksi lokal dan non fiksi sosial budaya. Narasi menerbitkan buku non fiksi yang sudah melalui kajian tentunya dan tergolong penerbit yang beda dari yang lain. Narasi menerbitkan buku yang jarang ditemui di penerbit lainnya.
Dapur Penerbit diisi oleh penerbit Haru, Banana, Buku Mojok, Marjin Kiri, dan Narasi
Dapur Penerbit (dokumentasi pribadi, ©)

Penerbit Banana, Marjin Kiri, dan Narasi tidak pernah mengumumkan secara langsung sedang berburu naskah, tapi jika ada yang berminat tinggal mengirimkan saja. Sementara Haru dan Buku Mojok terkadang mengumumkan pencarian naskah di media sosial atau website mereka. Haru dan Buku Mojok sama-sama lebih banyak berburu naskah daripada menunggu, walaupun keduanya tetap dilakukan. Biasanya banyak naskah yang masuk, tapi sedikit yang sesuai kriteria mereka.

Buku Mojok memiliki target dalam sebulan menerbitkan dua buku non fiksi dan satu buku fiksi. Sementara Haru dalam setahun setidaknya menerbitkan dua belas buku terjemahan. Sebenarnya Haru memiliki imprint yang fokusnya berbeda. Imprint Inari menerbitkan buku dari penulis lokal (setahun targetnya enam buku), Koru menerbitkan buku secara digital, dan Spring menerbitkan buku terjemahan dari Amerika dan Eropa.

Bagaimana mengetahui naskah yang kita kirim sesuai dengan kelima penerbit tersebut? Menurut saya sebaiknya baca dulu buku-buku terbitan mereka agar lebih paham dengan kriterianya. Kalau soal teknis bisa lah mencari ketentuan di website mereka. Namun, soal isi kan tidak. Patokan bagus dan menarik itu juga relatif, jadi kenali dulu penerbit sasaran kalian.

Akhir kata saya sangat senang bisa mengikuti sesi-sesi di Patjar Merah, walaupun tidak semuanya. Banyak ilmu yang bisa saya curi. Semoga Patjar Merah bisa terus menghidupkan semangat literasi di seluruh Indonesia. Terima kasih telah menghadirkan acara yang luar biasa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Patjar Merah adalah festival literasi dan pasar buku keliling nusantara. Sejak Patjar Merah mengadakan kunjungan mereka ke Jogja, saya sangat ingin menghadiri acara tersebut. Akhirnya Semarang menjadi kota ketiga yang dikunjungi Patjar Merah setelah Malang dan Jogja. Patjar Merah Semarang berlangsung dari tanggal 29 November hingga 08 Desember 2019. Di festival ini diadakan banyak acara menarik mengenai dunia buku dan dunia kreatif lainnya. Ada juga bazar buku dengan diskon hingga 80%. Kurang keren apa coba Patjar Merah ini.
Festival Literasi Patjar Merah
Patjar Merah Semarang (dokumentasi pribadi, ©)

Ada beberapa fakta menarik tentang Patjar Merah di Semarang. Pertama, tanggal 1 Desember 2019 adalah ulang tahun pertama Patjar Merah. Kedua, lokasi diadakan Patjar Merah adalah dua gedung tua di kawasan Kota Lama. Gedung tersebut adalah Soesmans Kantoor dan Monod Diephuis & Co, yang tentunya memiliki nilai sejarah. Selain dua gedung tersebut, lorong instagramable di depan gedung juga digunakan untuk acara (Lorong tempat akar-akar pohon yang menjadi salah satu spot foto iconic di Kota Lama atau disebut The Groot). Saya yakin para pengunjung langsung jatuh cinta dengan lokasi acara Patjar Merah Semarang ini.

Sebelum Patjar Merah berlangsung pengunjung disarankan untuk mengunduh aplikasi Patjar Merah di Google Play Store. Aplikasi tersebut berguna untuk melihat jadwal dan mendaftarkan diri di acara lokakarya, sharing, dan pertunjukan. Hampir seluruh acara gratis. Beberapa acara berbayar adalah pelatihan menulis dan pertunjukan boneka oleh Papermoon Puppet.

Saya baru hadir di Patjar Merah pada Minggu, 01 Desember 2019. Ada dua sesi yang saya ikuti, yaitu Dapur Penulis: Berdua dan Bersendiri, serta Penjenamaan Pribadi (Personal Branding) dan Media Sosial. Pembicara Dapur Penulis adalah penulis Boy Candra, serta Teddy & Maesy. Mereka mengisahkan bagaimana lika-liku menulis sendiri dan berdua. Perjenamaan Pribadi diisi oleh influencer @aMrazing alias Alexander Thian.

Dapur Penulis: Bersendiri dan Berdua

Bagi Boy Candra mungkin dia tidak bisa menulis berdua, karena dia memiliki standar-standar yang bisa jadi berada di atas atau di bawah penulis lain. Tidak mudah untuk menegosiasikannya. Apalagi ada konsekuensi setelah buku kolaborasi terbit. Usaha itu tidak berhenti begitu saja setelah buku jadi. Berdua harus sama-sama memperjuangkan buku yang mereka tulis. Sementara itu, bagi Teddy dan Maesy yang merupakan sepasang suami istri, menulis berdua adalah saling melengkapi. Saya bisa merasakan mereka memiliki harmonisasi itu, ketika memaparkan proses menulis berdua.

Menulis sendiri bukan berarti bebas tanpa kendala harus berdiskusi atau meributkan beberapa bagian. Menulis sendiri berarti memikirkan ide sendiri, menguras otak sendiri untuk mengembangkan ide tersebut menjadi karya. Menulis berdua tidak lepas dari negosiasi. Sebelum masuk ke proses menulis, Teddy dan Maesy harus memastikan cerita mereka akan dibawa ke mana. Jadi ketika menulis sudah tidak ada ribut-ribut lagi a.k.a diskusi tentang alur dan karakter.
Dapur Penulis diisi oleh Boy Candra, Teddy dan Maesy (Post Press)
Dapur Penulis (dokumentasi pribadi, ©)

Ketiga penulis tersebut juga memiliki cara berbeda dalam menyelesaikan tulisan mereka. Boy Candra suka memberikan deadline kepada dirinya sendiri ketika menulis. Misalnya dia harus menyelesaikan cerita dalam waktu tiga bulan, dua bulan adalah riset dan sebulan untuk menulis. Baginya tulisan bisa dikoreksi setelah selesai. Kalau belum selesai apa yang mau dikoreksi. Deadline juga membantunya tetap menyegarkan ingatan akan tulisan yang ingin dia selesaikan. Kalau Teddy dan Maesy kebalikannya. Mereka bukan penulis yang ingin menulis banyak buku, jadi deadline tidak menjadi batasan yang kaku. Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki deadline. Deadline membantu mereka memajukan cerita. Terkadang mereka memberi target menulis beberapa ribu kata atau hanya fragmen yang entah mau diletakkan di awal atau akhir. Lalu bagaimana Teddy dan Maesy memelihara ingatan akan tulisan yang mereka buat? Ini unik. Maesy menulis sesuatu yang melekat di ingatannya, sesuatu yang dekat, maka ide itu tetap segar.

Di balik perbedaan bersendiri atau berdua, ketiga penulis tersebut sepakat bahwa writer blocks itu tidak ada (padahal saya pernah nulis artikel tentang itu, ok, itu tahayul ya). Writer blocks hanya alasan yang digunakan karena malas. Boy Candra lebih percaya kepada lelah dan jenuh. Pasti ada masa-masa seperti itu ketika menulis. Jika sudah begitu berhenti sejenak, istirahat atau melakukan kegiatan lain. Teddy dan Maesy sependapat, selama tidak mendiamkan tulisan, maka itu tidak masalah. Harus ingat untuk mengunjungi tulisan kalian.

Sebenarnya masih banyak hal menarik yang dibicarakan dari sesi Dapur Penulis, tapi akan terlalu panjang jika seluruhnya saya tuangkan di sini. Yang jelas menulis bersendiri atau berdua memiliki keunikan masing-masing. Setelah sesi tersebut selesai saya merasa sangat bahagia, entah kenapa. Mereka seperti menyalurkan energi positif kepada orang-orang yang hadir di sana. Saya sangat kagum dengan pemikiran ketiga penulis tersebut. Terima kasih Boy Candra, Teddy dan Measy sudah membagikan kisah menulis kalian.

Penjenamaan Pribadi (Personal Branding) dan Media Sosial

Ketika menghadiri sesi ini saya telat beberapa menit, karena asyik lihat-lihat buku tidak sadar sudah lewat sejam. Namun tidak mengurangi keseruannya, bahkan sekalipun saya tidak dapat tempat duduk. Sesi ini bertempat di lorong depan gedung Soesmans Kantoor. Pesertanya membludak dong.

Di tengah-tengah pembicaraan yang terlewat beberapa menit tersebut, Alexander Thian sedang berinteraksi dengan peserta. Dia menanyakan branding seperti apa yang ingin dibangun, cara apa saja yang sudah dilakukan.

Passion menjadi salah satu hal yang bisa dipertimbangkan untuk memulai branding. Passion adalah hal yang dilakukan berulang-ulang dengan senang hati dan tidak akan membuat jenuh. Andai kita bosan dan tidak konsisten, maka itu bukan passion kita. Namun mesti diingat melakukan passion juga harus realistis. Bagaimana pun juga perut perlu dikasih makan, harus ada penyokong. Andai passion yang kita lakukan juga memberikan penghasilan, maka itu bonus.
Personal Branding diisi oleh Alexander Thian
Penjenamaan Pribadi (dokumentasi pribadi, ©)

Perlu diketahui juga tujuan penjenamaan pribadi di dunia maya, apakah untuk menghibur, memberikan pengetahuan, atau motivasi. Lalu memilih media sosial yang sesuai. Twitter, Facebook, dan Instagram memiliki fungsi berbeda dalam menyajikan informasi. Tipe warganya pun juga berbeda. Kita paham kalau Instagram mengandalkan visual dan yang terbaru fitur IG TV. Sementara Twitter asyik untuk bikin thread.

Alexander Thian menyampaikan bahwa membangun nama di dunia maya bukan hanya soal apa, tapi juga bagaimana. Story telling itu menjadi penting, topik mungkin bisa berbeda tapi mesti ada ciri khas. Alexander Thian bisa membicarakan topik-topik tertentu, tapi dasar dia adalah story telling. Sosoknya tidak akan kabur atau tidak konsisten, karena dia berpegang pada dasar itu.

Alexander Thian memberikan contoh-contoh figure yang melakukan penjenamaan pribadi dengan baik, salah satunya Wahyu Ichwandardi atau Papin (@pinotski). Kebetulan saya mengikuti Papin di Twitter dan sangat kagum dengan cara dia menunjukkan proses berkarya dan menceritakan bagaimana kehidupan merantaunya di US.

Setiap sesi selesai biasanya akan diberikan waktu untuk berfoto dan meminta tanda tangan. Namun saya memilih menepi di café terdekat berhubung perut saya meronta, sekaligus merenungkan sesi penjenamaan pribadi. Saya sadar belum pernah melakukan branding, belum bisa memanfaatkan media sosial secara efektif. Terima kasih Alexander Thian untuk sharing yang bermanfaat. Saya sangat puas mengikuti sesi-sesi di Patjar Merah. Tunggu cerita tentang sesi lain yang saya ikuti. Dan, selamat ulang tahun Patjar!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Festival Kota Lama Semarang diadakan dari tanggal 12 - 22 September 2019. Festival ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah Kota Lama Semarang, seni dan budaya, serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Ada beberapa program yang lokasinya tersebar di seluruh area Kota Lama. Program-program tersebut adalah jelajah Kota Lama, line dance on the street, book talk, pemutaran dan diskusi film Kucumbu Tubuh Indahku, indische parade, pasar sentiling, street art performance, workshop dan talkshow, aksi sosial, sketch carnival, kids fun, pameran Jepara, Holland spreken, jalan sehat alzi, lomba lari berjarik, dan eksplor rasa. Banyak banget, kan?

Sebagai warga Semarang saya tentu bangga dan senang ada acara semacam ini. Harapan saya Festival Kota Lama Semarang bisa diadakan secara rutin setahun sekali. Banyak sekali pembelajaran yang bisa diperoleh dalam program-program di festival tersebut. Salah satu program yang saya ikuti adalah book talk.

Program book talk diikuti oleh penulis-penulis buku non fiksi maupun fiksi, yaitu Wiwien Wintarto, Handry T.M., Sulis Bambang, Dian Nafi, Muhajir Arrosyid, Nara Lahmusi, Risma Ridha, Niken Hergaristi, Bambang Iss Wirya, Malikul Alam, dan Wesiati Setyaningsih. Book talk berlokasi di Amphitheater Oudetrap. Sesi setiap penulis berlangsung di hari yang berbeda-beda.
Book Talk Festival Kota Lama
Dokumentasi pribadi ©

Saya menghadiri sesi tanggal 18 September 2019. Buku yang dibicarakan adalah a Sky Full of Stars karya Nara Lahmusi, Happy Birth-die karya Risma Ridha Anissa, dan Komorebi karya Niken Hergaristi. Ketiganya adalah novel yang berkisah tentang dunia remaja.

A Sky Full of Stars berkisah tentang Raya Angkasa yang seorang anak cleaning service, tapi memiliki cita-cita setinggi langit, yaitu kuliah di Kedokteran UI. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menggapai mimpinya itu dengan menjadi guru privat bagi anak-anak tajir di sekolahnya. Namun mendadak hidupnya rumit ketika dia berurusan dengan kakak-adik dari keluarga Mahashakti. Bukan hanya urusan pelajaran, tapi Raya juga terlibat urusan perasaan dan pertaruhan.

Berbeda dari novel a Sky Full of Stars, novel Happy Birth-die dibumbui dengan genre horor. Happy Birth-die berkisah tentang Pijar yang dianggap misterius oleh teman-temannya karena penampilannya. Dia dikenal memiliki ekspresi wajah datar, tidak pernah tersenyum, dan seram. Oleh sebab itu dia mendapat julukan zombie. Siapa yang sangka bahwa Pijar memiliki kemampuan bisa melihat tahun kematian seseorang saat berulang tahun. Apesnya Heksa harus berurusan dengan Pijar dalam acara sekolah. Lambat laun Heksa dekat dengan Pijar dan dia juga mengetahui kemampuan cewek itu. Fakta tersebut membuat hari-hari mereka dipenuhi ketegangan.

Novel Komorebi berkisah tentang Arimbi yang mengidap lupus. Lupus adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh sistem imun yang menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh sendiri. Sebuah film memberikan gagasan baru bagi Arimbi tentang hidupnya. Daripada dia terus meratapi takdir lebih baik dia mempersiapkan diri dan berbahagia sebelum mati.

Apa sih komorebi? Komorebi diambil dari bahasa Jepang yang artinya momen ketika cahaya matahari menembus pepohonan. Dalam novel Komorebi si tokoh utama menyukai momen tersebut. Di balik novel Komorebi ada cerita sedih. Rupanya penulis terinspirasi dari temannya yang mengidap lupus.

Menurut saya ide ketiga novel tersebut menarik. Ketiganya sama-sama mengajarkan bahwa kita harus mencintai diri sendiri dulu atau jangan rendah diri. Tentu masih banyak nilai yang bisa dipetik dari ketiga buku tersebut. Jika kalian penasaran silakan membelinya di toko-toko buku terdekat.

Acara book talk di Festival Kota Lama itu bagus banget, sayangnya memang tidak seramai acara lain, pasar sentiling misalnya (ramainya itu lho haha…). Namun ini awal yang bagus, bahwa banyak pihak yang masih concern dengan buku, budaya membaca, dan kiprah penulis-penulis lokal. Semoga dunia sastra Indonesia bisa lebih maju lagi dan budaya membaca terus meningkat.

Terima kasih sudah berkunjung di Melalui Ruang, jangan lupa bagikan dan tinggalkan komentar.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Pecinta PUBG Mobile pasti sudah tahu ada beberapa pembaruan di game yang lisensinya dipegang oleh Tencent tersebut. Selain pembaruan di map Vikendi dan Sanhok ada tambahan mode event, yaitu Survive Till Dawn. Berkolaborasi dengan Resident Evil 2, pemain dapat merasakan sensasi bertarung dengan zombie. Bahkan musik di lobby pun berganti jadi musiknya Resident Evil 2.


Awalnya saya tidak berniat coba Survive Till Dawn, karena ketahuilah habis nonton TV series Kingdom saya merasa zombie itu serem banget (Alasan yang receh.). Tapi tetap rasa penasaran yang lebih menang. Akhirnya saya coba main mode event PUBG Mobile tersebut. Sejauh ini saya baru main sebanyak enam kali di mode tersebut. Hasilnya? Auto kalah. Hahaha… Sempat masuk top 10 sih, tapi itu gara-gara tim saya mainnya bagus. (Maafkan saya rekan-rekan tim.)


Awalnya saya pikir saya cuma akan melawan zombie di Survive Till Dawn, ternyata tetap harus berhadapan sama musuh (manusia) juga. Bayangkan betapa susahnya harus melawan zombie, bersamaan dengan itu harus hati-hati dan peka kalau ada musuh yang mengintai. Saya sih matinya sama zombie terus.


Di mode event terdapat dua situasi, siang dan malam. Ketika siang zombie yang berkeliaran sedikit, tapi ketika malam sudah tiba siap-siaplah menghadapi zombie yang bermunculan dari tanah. Pastikan kalian memiliki peluru dan senjata yang mumpuni. Kalau saya pribadi lebih suka saat malam cari tempat strategis untuk menghadapi zombie, misalnya cari bangunan yang tinggi atau pergi ke atap bangunan. Tapi kebanyakan tim yang saya temui lebih suka main di tempat terbuka.


Sebelum main Survive Till Dawn saya sempat baca beberapa tips, ya biar lebih paham saja.
1. Tempat tinggi itu cocok untuk melawan zombie karena zombie tidak bisa memanjat. Maksud saya tempat tinggi itu bukan serta merta bangunan tingkat dua atau lebih, tapi yang saya maksud atap rumah, peti kemas, kotak-kotak yang ditumpuk tinggi. Meskipun ada zombie yang bisa menyerang jarak jauh, setidaknya kita bisa mengeliminasi jumlah zombie yang kita lawan. Apalagi kalau kita belum memiliki cukup perlengkapan, tapi sudah keburu malam.
2. Selain itu siang dan malam akan berganti dengan cepat selama dua kali, di hari ketiga siang akan lebih lama. Jadi setidaknya harus bertahan selama dua hari untuk serangan zombie. Hari ketiga bisa digunakan untuk fokus melawan musuh.
3. Kekompakan tim juga penting untuk saling melindungi dari serangan zombie. Apalagi jika bertemu dengan bos zombie. Tidak bisa mengalahkannya sendirian.


Setidaknya itu tiga tips yang saya baca, tapi saya masih belum menerapkannya dengan baik. Seingat saya hari ketiga pun saya belum pernah merasakan. Parah…

Senjata Baru di Survive Till Dawn

Di mode ini ada senjata baru yaitu combat knife, flamethrower, dan senapan M134. Combat knife bisa digunakan untuk membunuh zombie jika peluru kalian habis. Flamethrower adalah senjata pelontar api yang bahan bakarnya berupa gas bottle. Sedangkan M134 adalah senapan yang bisa mengeluarkan peluru dalam jumlah banyak sekaligus. Saya belum pernah dapat ketiga senjata tersebut (Ya iyalah mati terus.). Jadi, habis membunuh zombie pemain akan dapat rewards secara acak. Semakin kuat zombie yang dibunuh rewards yang didapat tentu lebih menarik. Kalau bunuh zombie biasa paling dapatnya peluru atau aksesoris senapan lainnya.

Jenis Zombie di Survive Till Dawn

Di dalam Survive Till Down zombie di kategorikan menjadi empat, yaitu zombie, licker, tyrant, dan G (tahap I).
1. Zombie
Zombie sendiri ada beberapa jenis yaitu zombie biasa yang tidak memiliki kemampuan, zombie polisi, zombie dengan serangan jarak jauh yang dapat memuntahkan racun, zombie bertubuh raksasa yang membawa pisau, dan zombie dengan tameng.
2. Licker
Zombie jenis Licker dapat merayap dan memiliki pergerakan yang cepat daripada zombie biasa. Dia hanya muncul saat malam hari.
3. Tyrant
Tyrant adalah bos zombie yang memiliki tubuh besar dan sulit dikalahkan. Dia juga bisa menyerang dengan melempar batu. Jika bisa mengalahkan Tyrant maka pemain akan mendapat reward menarik.
4. G (tahap I)
G (tahap I) juga termasuk bos zombie. Dia membawa semacam tongkat baseball. Serangannya juga mematikan tapi tidak sekuat Tyrant. Seperti halnya Tyrant, jika kalian mengalahkan G (tahap I) akan ada reward menarik.


Mode event Survive Till Dawn ini memang seru, tapi juga bikin panik. Berbeda dengan mode klasik, mode event tidak membutuhkan waktu lama untuk bermain. Kalau belum melakukan pembaruan segera lakukan pembaruan, rasakan sensasi dikejar zombie.


Saya ingatkan bermain game itu hanya untuk hiburan, main berlebihan juga tidak baik. Mainlah secukupnya, jangan sampai kecanduan dan lupa dunia nyata.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Subscribe To

Posts
Atom
Posts
All Comments
Atom
All Comments

About blog

Sejak 2016, Melalui Ruang membahas buku, dunia literasi, film/tv series, dan kedai kopi yang dikunjungi penulis. Semuanya berasal dari perspektif dan pengalaman penulis.

Categories

Film/TV series (34) Buku (20) Menulis (19) Lainnya (10) Kopi (8)

recent posts

Link Favorit

  • Fiksi Lotus
  • Foodiscuss
  • Peter de Vries Guitar

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates