Patjar Merah Semarang 01 Desember 2019

by - 10:29 AM

Patjar Merah adalah festival literasi dan pasar buku keliling nusantara. Sejak Patjar Merah mengadakan kunjungan mereka ke Jogja, saya sangat ingin menghadiri acara tersebut. Akhirnya Semarang menjadi kota ketiga yang dikunjungi Patjar Merah setelah Malang dan Jogja. Patjar Merah Semarang berlangsung dari tanggal 29 November hingga 08 Desember 2019. Di festival ini diadakan banyak acara menarik mengenai dunia buku dan dunia kreatif lainnya. Ada juga bazar buku dengan diskon hingga 80%. Kurang keren apa coba Patjar Merah ini.
Festival Literasi Patjar Merah
Patjar Merah Semarang (dokumentasi pribadi, ©)

Ada beberapa fakta menarik tentang Patjar Merah di Semarang. Pertama, tanggal 1 Desember 2019 adalah ulang tahun pertama Patjar Merah. Kedua, lokasi diadakan Patjar Merah adalah dua gedung tua di kawasan Kota Lama. Gedung tersebut adalah Soesmans Kantoor dan Monod Diephuis & Co, yang tentunya memiliki nilai sejarah. Selain dua gedung tersebut, lorong instagramable di depan gedung juga digunakan untuk acara (Lorong tempat akar-akar pohon yang menjadi salah satu spot foto iconic di Kota Lama atau disebut The Groot). Saya yakin para pengunjung langsung jatuh cinta dengan lokasi acara Patjar Merah Semarang ini.

Sebelum Patjar Merah berlangsung pengunjung disarankan untuk mengunduh aplikasi Patjar Merah di Google Play Store. Aplikasi tersebut berguna untuk melihat jadwal dan mendaftarkan diri di acara lokakarya, sharing, dan pertunjukan. Hampir seluruh acara gratis. Beberapa acara berbayar adalah pelatihan menulis dan pertunjukan boneka oleh Papermoon Puppet.

Saya baru hadir di Patjar Merah pada Minggu, 01 Desember 2019. Ada dua sesi yang saya ikuti, yaitu Dapur Penulis: Berdua dan Bersendiri, serta Penjenamaan Pribadi (Personal Branding) dan Media Sosial. Pembicara Dapur Penulis adalah penulis Boy Candra, serta Teddy & Maesy. Mereka mengisahkan bagaimana lika-liku menulis sendiri dan berdua. Perjenamaan Pribadi diisi oleh influencer @aMrazing alias Alexander Thian.

Dapur Penulis: Bersendiri dan Berdua

Bagi Boy Candra mungkin dia tidak bisa menulis berdua, karena dia memiliki standar-standar yang bisa jadi berada di atas atau di bawah penulis lain. Tidak mudah untuk menegosiasikannya. Apalagi ada konsekuensi setelah buku kolaborasi terbit. Usaha itu tidak berhenti begitu saja setelah buku jadi. Berdua harus sama-sama memperjuangkan buku yang mereka tulis. Sementara itu, bagi Teddy dan Maesy yang merupakan sepasang suami istri, menulis berdua adalah saling melengkapi. Saya bisa merasakan mereka memiliki harmonisasi itu, ketika memaparkan proses menulis berdua.

Menulis sendiri bukan berarti bebas tanpa kendala harus berdiskusi atau meributkan beberapa bagian. Menulis sendiri berarti memikirkan ide sendiri, menguras otak sendiri untuk mengembangkan ide tersebut menjadi karya. Menulis berdua tidak lepas dari negosiasi. Sebelum masuk ke proses menulis, Teddy dan Maesy harus memastikan cerita mereka akan dibawa ke mana. Jadi ketika menulis sudah tidak ada ribut-ribut lagi a.k.a diskusi tentang alur dan karakter.
Dapur Penulis diisi oleh Boy Candra, Teddy dan Maesy (Post Press)
Dapur Penulis (dokumentasi pribadi, ©)

Ketiga penulis tersebut juga memiliki cara berbeda dalam menyelesaikan tulisan mereka. Boy Candra suka memberikan deadline kepada dirinya sendiri ketika menulis. Misalnya dia harus menyelesaikan cerita dalam waktu tiga bulan, dua bulan adalah riset dan sebulan untuk menulis. Baginya tulisan bisa dikoreksi setelah selesai. Kalau belum selesai apa yang mau dikoreksi. Deadline juga membantunya tetap menyegarkan ingatan akan tulisan yang ingin dia selesaikan. Kalau Teddy dan Maesy kebalikannya. Mereka bukan penulis yang ingin menulis banyak buku, jadi deadline tidak menjadi batasan yang kaku. Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki deadline. Deadline membantu mereka memajukan cerita. Terkadang mereka memberi target menulis beberapa ribu kata atau hanya fragmen yang entah mau diletakkan di awal atau akhir. Lalu bagaimana Teddy dan Maesy memelihara ingatan akan tulisan yang mereka buat? Ini unik. Maesy menulis sesuatu yang melekat di ingatannya, sesuatu yang dekat, maka ide itu tetap segar.

Di balik perbedaan bersendiri atau berdua, ketiga penulis tersebut sepakat bahwa writer blocks itu tidak ada (padahal saya pernah nulis artikel tentang itu, ok, itu tahayul ya). Writer blocks hanya alasan yang digunakan karena malas. Boy Candra lebih percaya kepada lelah dan jenuh. Pasti ada masa-masa seperti itu ketika menulis. Jika sudah begitu berhenti sejenak, istirahat atau melakukan kegiatan lain. Teddy dan Maesy sependapat, selama tidak mendiamkan tulisan, maka itu tidak masalah. Harus ingat untuk mengunjungi tulisan kalian.

Sebenarnya masih banyak hal menarik yang dibicarakan dari sesi Dapur Penulis, tapi akan terlalu panjang jika seluruhnya saya tuangkan di sini. Yang jelas menulis bersendiri atau berdua memiliki keunikan masing-masing. Setelah sesi tersebut selesai saya merasa sangat bahagia, entah kenapa. Mereka seperti menyalurkan energi positif kepada orang-orang yang hadir di sana. Saya sangat kagum dengan pemikiran ketiga penulis tersebut. Terima kasih Boy Candra, Teddy dan Measy sudah membagikan kisah menulis kalian.

Penjenamaan Pribadi (Personal Branding) dan Media Sosial

Ketika menghadiri sesi ini saya telat beberapa menit, karena asyik lihat-lihat buku tidak sadar sudah lewat sejam. Namun tidak mengurangi keseruannya, bahkan sekalipun saya tidak dapat tempat duduk. Sesi ini bertempat di lorong depan gedung Soesmans Kantoor. Pesertanya membludak dong.

Di tengah-tengah pembicaraan yang terlewat beberapa menit tersebut, Alexander Thian sedang berinteraksi dengan peserta. Dia menanyakan branding seperti apa yang ingin dibangun, cara apa saja yang sudah dilakukan.

Passion menjadi salah satu hal yang bisa dipertimbangkan untuk memulai branding. Passion adalah hal yang dilakukan berulang-ulang dengan senang hati dan tidak akan membuat jenuh. Andai kita bosan dan tidak konsisten, maka itu bukan passion kita. Namun mesti diingat melakukan passion juga harus realistis. Bagaimana pun juga perut perlu dikasih makan, harus ada penyokong. Andai passion yang kita lakukan juga memberikan penghasilan, maka itu bonus.
Personal Branding diisi oleh Alexander Thian
Penjenamaan Pribadi (dokumentasi pribadi, ©)

Perlu diketahui juga tujuan penjenamaan pribadi di dunia maya, apakah untuk menghibur, memberikan pengetahuan, atau motivasi. Lalu memilih media sosial yang sesuai. Twitter, Facebook, dan Instagram memiliki fungsi berbeda dalam menyajikan informasi. Tipe warganya pun juga berbeda. Kita paham kalau Instagram mengandalkan visual dan yang terbaru fitur IG TV. Sementara Twitter asyik untuk bikin thread.

Alexander Thian menyampaikan bahwa membangun nama di dunia maya bukan hanya soal apa, tapi juga bagaimana. Story telling itu menjadi penting, topik mungkin bisa berbeda tapi mesti ada ciri khas. Alexander Thian bisa membicarakan topik-topik tertentu, tapi dasar dia adalah story telling. Sosoknya tidak akan kabur atau tidak konsisten, karena dia berpegang pada dasar itu.

Alexander Thian memberikan contoh-contoh figure yang melakukan penjenamaan pribadi dengan baik, salah satunya Wahyu Ichwandardi atau Papin (@pinotski). Kebetulan saya mengikuti Papin di Twitter dan sangat kagum dengan cara dia menunjukkan proses berkarya dan menceritakan bagaimana kehidupan merantaunya di US.

Setiap sesi selesai biasanya akan diberikan waktu untuk berfoto dan meminta tanda tangan. Namun saya memilih menepi di café terdekat berhubung perut saya meronta, sekaligus merenungkan sesi penjenamaan pribadi. Saya sadar belum pernah melakukan branding, belum bisa memanfaatkan media sosial secara efektif. Terima kasih Alexander Thian untuk sharing yang bermanfaat. Saya sangat puas mengikuti sesi-sesi di Patjar Merah. Tunggu cerita tentang sesi lain yang saya ikuti. Dan, selamat ulang tahun Patjar!

You May Also Like

0 comments