Perspektif: Cerpen Padang Rumput Afrika oleh Ray Bradbury

by - 1:15 PM

Sebenarnya cerpen Padang Rumput Afrika (The Veldt) karya Ray Bradbury ini sudah saya baca sejak lama, tapi karena baru-baru ini saya mengikuti workshop dan mendapat sedikit ilmu menganalisis cerpen, jadi saya berniat membaca ulang Padang Rumput Afrika. Dan, ternyata pandangan saya kini berbeda dengan kala saya membacanya untuk pertama kalinya. Well, ini bukan analisis banget sih, ya kan saya bukan ahli. Ini bisa dibilang cuma pandangan saya terhadap cerpen Padang Rumput Afrika. Oya, kalian bisa membaca cerpen tersebut di Fiksi Lotus.

Cerpen Padang Rumput Afrika diawali dengan dialog antara Ibu dan Ayah. Hanya dengan beberapa dialog karakter Ibu dan Ayah langsung ditampilkan. Pertama Ibu menyuruh Ayah untuk memeriksa kamar bermain anak-anak, tapi kemudian ia mengatakan “Atau panggil seorang psikolog untuk melihatnya.” Pembuka cerpen langsung menunjukkan masalah utamanya: Ada yang tidak beres dengan kamar bermain anak-anak. Namun, apa itu? Permasalahan itu akan dibongkar sedikit demi sedikit. Selain itu gaya hidup mereka juga langsung ditampilkan di pembuka. Hal itu ditunjukkan dengan posisi Ibu yang sedang menunggu kompor meracik makanan secara otomatis.

Kemudian cerita mengalir ke adegan saat mereka memeriksa kamar bermain anak. Sebelum itu, ada simbol yang diletakkan di kalimat deskripsi: Mereka melintasi lorong di dalam rumah mereka yang dindingnya terbungkus oleh lapisan kedap suara Happylife Home. Kalimat tersebut bisa jadi merupakan sindiran, rumah (keluarga) yang dipenuhi dengan kegembiraan, tapi kedap suara, seakan kegembiraan itu tidak terdengar/senyap. Setelah itu dijelaskan lagi bagaimana rumah itu berfungsi: Rumah itu adalah tempat mereka membesarkan, memberi makan anak-anak mereka... Rumah itu adalah rumah yang layak bagi pertumbuhan anak-anak. Rumah pada deskripsi tersebut lebih menggambarkan tempat dan ini bisa jadi adalah petunjuk lain bagaimana keluarga ini hidup. Rumah semestinya lebih dari tempat.

Di rumah itu Ibu dan Ayah membangun kamar bermain yang begitu luas untuk anak-anak mereka. Ruangan itu memiliki teknologi canggih yang bisa meniru keadaaan asli suatu tempat, dalam hal ini area itu sedang menampilkan Padang Rumput Afrika. Setelah George dan Lydia memasuki Padang Rumput Afrika, ada paragraf deskripsi tentang bagaimana area tiruan itu terlihat nyata dan apa saja yang ada di dalamnya. Kehidupan di padang rumput Afrika begitu liar. Ada sekawanan singa yang baru saja selesai menyantap buruan mereka. George dan Lydia merasa tidak nyaman dengan citra yang ditampilkan di kamar bermain tersebut.

Ada dialog-dialog yang menurut saya ironis, misalnya “...kita berada di tengah hutan rimba Afrika yang terkurung dalam kamar anak-anak...” Buat saya pribadi, yang terkurung justru anak-anak. Bahkan untuk berimajinasi mereka dibantu oleh alat canggih itu. Seolah-olah memang tidak terbatas sih, apa pun yang anak-anak imajinasikan akan direfleksikan melalui teknologi canggih itu. Namun, tidakkah itu justru membatasi. Kenyataannya mereka cuma terkurung di dalam kotak yang disebut kamar bermain. Dialog lainnya, “Mereka hidup untuk bermain di kamar itu.” Anak-anak telah terikat dengan kamar bermain. 

Pada akhirnya Lydia mengusulkan suaminya untuk mematikan semua perangkat dan pergi berlibur. Ia ingin memasak sendiri, mencuci sendiri. Teknologi canggih yang ada di rumah mereka sudah tidak lagi meringankan beban, tapi menambah beban lain. Pada titik ini Lydia menyadari ada yang tidak beres. 

“Rumah ini berperan sebagai ibu dan istri, sekaligus teman bermain anak-anak. Mana bisa aku bersaing dengan pesona padang rumput Afrika? Mana bisa aku menyaingi efisiensi dan kecepatan mesin pemandi? Aku tidak bisa.” (Lydia) 

Saking canggihnya rumah itu, mereka tidak tahu harus melakukan apa di dalam rumah, karena semua pekerjaan rumah sudah digantikan oleh mesin. Padahal mesin tidak serta merta bisa menggantikan peran manusia. Mesin itu tidak manusiawi, tidak memiliki ciri khas khusus yang cuma bisa ada di manusia, mesin sendiri adalah ciptaan manusia. Sementara itu yang terjadi di keluarga George dan Lydia, mesin telah mengambil alih hidup mereka. Bahkan hal yang paling dasar seperti mengikat tali sepatu, mandi, menggosok gigi, memasak tidak bisa mereka lakukan tanpa mesin. 

“Apapun yang baik akan jadi tidak baik bila dikonsumsi terlalu berlebihan.” George mulai menyadari kesalahannya yang terlalu menggantungkan diri kepada mesin. Ia tidak mungkin mengontrol imajinasi anak-anak. Apalagi kamar bermain itu akan menangkap apa pun imajinasi anak-anak. Ada narasi yang bunyinya: Begitu anak-anak membayangkan singa, maka singa dihadirkan dalam ruang itu. Zebra, maka zebra dihadirkan juga. Matahari, matahari. Jerapah, jerapah. Kematian dan kematian. Melalui narasi tersebut Ray Bradbury mau memberikan petunjuk penting. Ada lagi kalimat: Jauh sebelum kau mengenal kematian, kau sudah menyumpahkannya terhadap orang lain. 

Lantas George berniat mengunci kamar bermain. Lydia amat khawatir, bahkan beberapa kali ia mendengar teriakan di kejauhan yang asalnya dari kamar bermain itu. Saking muaknya, George ingin ruang bermain itu merespon pikirannya dan mengganti pemandangan padang rumput Afrika menjadi latar pada cerita Aladin, tapi tidak ada yang terjadi. Ia menyimpulkan kamar itu rusak. Tapi, Lydia memiliki pandangan lain. Kamar itu mungkin sudah tidak bisa merespon lagi lantaran anak-anak telah memikirkan Afrika, singa, dan perburuan selama berhari-hari. Sementara itu, ketika Wendy memeriksa ruang bermain itu yang tampil justru hutan belantara nan hijau dan sejuk, ada alunan lagu, kupu-kupu dan bunga. Adegan tersebut bisa multitafsir, misalnya ruang bermain itu bukannya tidak bisa merespon imajinasi George, dia sudah meresponnya. Atau, sesuai dengan kecurigaan George, Wendy (anak kedua, anak pertama bernama Peter) sengaja mengubahnya dan pura-pura tidak tahu tentang padang rumput Afrika. Well, orangtua di cerita ini cenderung mencurigai anak-anak mereka. 

“Kita sudah memberikan segalanya bagi anak-anak kita. Apa ini balasannya? Kerahasiaan dan ketidakpatuhan?” (Lydia). Di sini orangtua merasa sudah memahami dan memberikan segalanya kepada anak-anak mereka, tapi di sisi lain mereka justru tidak memercayai anak mereka sepenuhnya dan malah mencurigai mereka. Dan ingat, secara tidak langsung perilaku anak adalah cerminan orangtua mereka, bagaimana orangtua mendidik anak mereka. 

Lalu, cerita bergulir pada kedatangan seorang psikolog. Ia berpendapat, “Kamar bermain, rumah ini telah menggantikan peranmu dan istrimu dalam kehidupan anak-anak kalian. Mereka jauh lebih penting daripada orangtua sungguhan, dan sekarang kau tiba-tiba mau mematikan kamar ini. Tentu saja sekarang kita melihat kebencian dalam kamar ini sekarang.” 

Peter dan Wendy begitu marah, saat orangtua mereka tiba-tiba merampas kamar bermain yang selalu menemani hari-hari mereka. Selain itu mesin-mesin lain di dalam rumah juga akan dimatikan. Padahal Peter dan Wendy tidak pernah diajarkan bagaimana mengikat sepatu, gosok gigi, mandi. Mereka jelas ketakutan dan panik. 

“Sudah lama kita semua mati. Sekarang kita akan mulai hidup baru. Kita takkan lagi dibuai oleh mesin, kita akan hidup normal.” (George)

Apakah setelah semua mesin di dalam rumah itu dimatikan maka urusan beres? Tidak juga. Sejak awal Bradbury sudah menebar petunjuk bagaimana cerita akan berakhir. Ada jeritan, ada dua benda yang ditemukan berada di kamar bermain itu, dompet lama George dan syal Lydia. Pada akhirnya ketakutan George dan Lydia menjadi nyata. Bagian saat George dan Lydia dimakan singa bisa mengartikan bahwa bagi anak-anak sosok orangtua asli mereka sudah mati. Peran mereka telah digantikan oleh mesin-mesin.

You May Also Like

0 comments